menu melayang

Selasa, 08 April 2025

Membangun Mindset Digital dalam Pembelajaran Geografi


Generasi alpha merupakan generasi yang paling akrab dengan teknologi digital. Mereka lahir pada rentang tahun 2010-2025 dimana pada era ini dunia digital telah berkembang semakin pesat dan semakin canggih. Sejak lahir, generasi ini telah terbiasa hidup berdampingan dengan gadget. Reis (2017:11) mengungkapkan bahwa generasi alpha memiliki kemampuan untuk menggunakan peralatan elektronik seperti smartphone, tablet, dan komputer sejak mereka lahir sehingga generasi ini dapat juga dikatakan sebagai “digital generation” atau “digital natives”. Sehingga tidak heran jika pada saat ini sering dijumpai anak-anak yang masih kecil sudah pandai bermain dengan gadget mereka.

Pada tahun 2023, generasi alpha tertua telah mencapai usia 12-13 tahun, artinya generasi ini sudah ada yang mencapai usia sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah pertama dan 3-4 tahun mendatang generasi alpha tertua ini akan mulai menginjak sekolah menengah pertama. Idealnya, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan harus mulai akrab dengan teknologi digital untuk dapat memfasilitasi kebutuhan belajar para generasi alpha. Begitu pula dengan guru yang akan mengajar generasi alpha harus dapat menjadi fasilitator yang mampu mengkolaborasikan teknologi digital ke dalam kegiatan pembelajarannya sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien.

Pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran dapat membuat proses belajar para generasi alpha menjadi lebih menarik dan efisien. Pemanfaatan teknologi ini bukan sekedar tentang menghadirkan teknologi secara fisiknya ke dalam ruang pembelajaran sebagai learning tools, namun lebih dari itu. Sumber yang relewan yang dikutip dari Association for Educational Communications and Technology bahwa “educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources”. Artinya teknologi bukan sekedar memakai alat bantu seperti penggunaan LCD proyektor untuk menampilkan gambar atau video di kelas namun teknologi dapat menjadi bagian dalam pembelajaran itu sendiri seperti penggunaan e-learningVideo-Assisted LearningLearning Analytics, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih cepat, serta tidak terbatas hanya di ruang kelas.

Mengkolaborasikan teknologi dalam pembelajaran akan mempermudah para generasi alpha memahami berbagai mata pelajaran, terlebih mata pelajaran yang membutuhkan media sebagai alat bantu menjelaskan materinya, seperti halnya mata pelajaran geografi. Fitur dari pengembangan teknologi yang dapat dikolaborasikan ke dalam pembelajaran geografi seperti pemanfaatan google earth, google map, StudyGeE-Atlas Indonesia, StoryMap&WebApp Builder, atau Circlegeo. Keumggulan lain yang bisa dinikmati pengguna dalam mempermudah pengelolaan pembelajaran geografi, guru juga dapat memanfaatkan fitur kelas maya seperti google classroomEdmodo, atau juga Moodle. Pembelajaran geografi juga dapat dikolaborasikan dengan model digital game-based learning dengan memanfaatkan fitur dari quizizz, kahoot, socratives atau juga Educandy.

Menerapkan teknologi pendidikan seperti yang dipaparkan tersebut bukanlah perkara yang sulit, terlebih di sekolah yang berada di wilayah dengan akses internet yang cepat, namun hal tersebut akan berbeda jika sekolah berada pada wilayah 3T atau wilayah dengan listrik dan internet yang tidak stabil.  Beberapa  wilayah di Indonesia yang tidak dapat merasakan manfaat dari internet karena jaringan yang kurang stabil atau bahkan tidak terjangkau oleh jaringan internet masih cukup banyak. Berdasarkan siaran pers kominfo No. 488/HM/KOMINFO/10/2022 masih terdapat 12.548 desa yang belum mendapat akses internet yang stabil baik di daerah 3T maupun Non 3T. Kondisi tersebut menjadi kurang ideal untuk menerapkan digitalisasi di sekolah dengan akses internet yang terbatas. Namun bukan berarti digitalisasi tidak bisa dilakukan di sekolah tersebut. Dengan adanya usaha bersama dan didukung dengan mindset yang baik, tentu digitalisasi pendidikan tetap bisa dilakukan.

Membangun Mindset Digitalisasi dalam Pembelajaran

Banyak sekolah yang merasa kurang percaya diri dengan istilah digitalisasi karena wilayahnya memiliki akses internet yang terbatas. Seperti yang dikutip dalam jendela.kemdikbud.com (2021:31) bahwa alasan sekolah tidak menerapkan teknologi dikarenakan belum bisa mengoperasikan internet, akses internet dan biaya yang terbatas, hingga jumlah komputer yang dimiliki sekolah juga terbatas. Hal cukup ini wajar karena banyak sekolah-sekolah yang telah menerapkan digitalisasi menggunakan fitur-fitur digital yang tergantung pada akses internet. Padahal penggunaan fitur-fitur digital tidak selalu harus berdampingan dengan internet. Apabila hal ini dirumuskan maka dapat dikatakan bahwa digitalisasi tidak sama dengan internet [digitalisasi ? internet], dan internet bukan satu-satunya faktor yang dapat menghambat digitalisasi di sekolah.

Hal mendasar dalam membangun digitalisasi bukanlah masalah ada atau tidak adanya internet, namun yang terpenting mau atau tidak maunya elemen sekolah dalam mendukung digitalisasi di sekolahnya. Internet adalah sebuah sarana atau media yang dapat membantu seseorang agar dapat mengakses sebuah fitur/konten pembelajaran yang telah dikembangkan oleh pengembang (developer). Artinya internet hanya berperan sebagai perantara yang menghubungkan pengguna dengan fitur/konten. Fungsi perantara ini dapat digantikan dengan media lain seperti bluetoothwifi, dan jaringan lokal LAN atau gabungan beberapa media tersebut. Sedangkan konten/fitur bisa di dapatkan dari konten/fitur yang didapat dari orang lain yang kemudian dimasukkan dalam jaringan lokal di sekolah atau juga guru bisa mengembangkan konten sendiri, karena pengembang konten pembelajaran terbaik adalah guru yang paham karakteristik peserta didiknya dan hal tersebut telah dimiliki di dalam sekolah.

Mengembangkan jaringan di sekolah tidak harus dimulai dari jaringan yang kompleks. Pengembangan jaringan dapat dibuat dari jaringan yang sederhana dengan memanfaatkan hotspot dari smartphone ketika akan mengajar di kelas. Sebagai contoh di SMAN 1 Masalembu pada 2020 mulai mengembangkan jaringan lokal di sekolah hanya pada ruangan perpustakaan dengan memanfaatkan kabel LAN dan switchub yang tidak terpakai di ruang LAB komputer. Kemudian jaringan tersebut terus dikembangkan hingga 2022 jaringan tersebut telah menjangkau ke seluruh ruang kelas hingga ruang guru dan dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran, penilaian hingga pengelolaan data siswa berbasis digital.

Setelah permasalahan jaringan telah teratasi, selanjutnya adalah mengisi konten/fitur yang akan digunakan dalam pembelajaran. Mengisi konten/fitur ke dalam jaringan membutuhkan wadah yang disebut dengan server. Server di sini tidak harus yang secanggih yang dimiliki oleh google atau facebook, namun bisa memanfaatkan komputer bantuan dari pemerintah atau juga bisa menggunakan laptop. Kemudian konten/fitur pembelajaran dapat dimasukkan ke dalam server dengan memanfaatkan aplikasi xampp atau sejenisnya.

Membuat Konten Digital Pembelajaran Geografi

Menyajikan konten pembelajaran kepada para generasi alpha tidak harus menggunakan alat-alat bantu yang mahal. Jika sekolah memiliki LCD proyektor, bisa dimanfaatkan untuk menampilkan media ke hadapan peserta didik. Namun jika tidak memilikinya, guru dapat memanfaatkan laptop dan smartphone miliknya sebagai sarana untuk menampilkan konten ke dalam smartphone siswa dengan perantara hotspot atau jika memungkinkan dapat menggunakan jaringan lokal sekolah.

Konten pembelajaran yang dapat digunakan dalam mata pelaajran geografi sangat beragam, mulai dari artikel berita, suara, gambar, video hingga game interakitif. Agar konten tersebut dapat dinikmati dalam berbagai macam platform perlu di kemas dalam format html5. Pembahasan tentang format html5 untuk mendukung digitalisasi pembelajaran geografi pernah dibahas dalam buku “Resonansi Pemikiran 19” pada artikel “Media Berbasis HTML5 Sebagai Alternatif Digitalisasi Pembelajaran Geografi di SMAN 1 Masalembu”. Untuk membuat konten html5 tidak harus mengerti bahasa html5, cukup butuh keatifitas guru untuk merancang tampilan yang akan ditampilkan pada peserta didik.

Jika guru ingin menampilkan bahan bacaan artikel berita untuk melatih literasi geografi siswa, guru bisa menampilkan berita terbaru tentang fenomena alam yang terjadi seperti berita meletusnya gunung semeru. Untuk menampilkan konten tersebut guru bisa memanfaatkan aplikasi Microsoft Word yang di desain semenarik mungkin kemudian di simpan dalam format html. Caranya cukup pilih save pada konten berita yang telah di desain kemudian pada pilihan “save as type” tinggal pilih “web page (htm, html)”. Maka secara otomatis konten akan memiliki format html. Selain konten berupa deskripsi, dengan car aini guru juga bisa menampilkan gambar baik itu peta ataupun yang lain. Selanjutnya konten yang telah dibuat bisa di masukkan dalam jaringan lokal atau dibagikan secara langsung pada peserta didik menggunakan bluetooth atau wifi ShareIt. Jika ingin menggunakan jaringan lokal dengan memanfaatkan aplikasi xampp, konten dapat dicopy pada folder “htdoc” pada aplikasi xampp dan membagikan linknya yaitu dengan format http://IP server lokal/nama konten yang dibuat berikut ektensinya.

Berbeda jika konten yang ingin dibuat adalah konten video, kuis bahkan multimedia, maka guru bisa memanfaatkan aplikasi Microsoft PowerPoint dengan ditambahkan ekstensi dari Ispring suiteSelain itu guru juga bisa membuat game interaktif dengan memanfaatkan aplikasi SAC (Smart Apps Creator). Kemudian konten yang dibuat di ekspor ke dalam html5 dan dibagikan pada peserta didik seperti cara yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Penutup

Hal yang paling sulit dalam usaha membangun mindset digitalisasi pembelajaran adalah mengembangkan dan mengisi konten pembelajaran. Perlu adanya usaha ekstra dan kolaborasi semua guru dan elemen sekolah untuk bersama-sama mengisi konten pada jaringan lokal di sekolah. Jika melihat beberapa tahun ke belakang maka akan disadari bahwa konten yang ada di google juga terbatas, video yang ada di youtube juga terbatas, kemudian dengan berjalannya waktu beberapa konten kreator mulai memasukkan ide, gagasan, artikel, video dan konten lainnya ke dalam google, youtube dan penyedia layanan lainnya sehingga menjadi seperti sekarang. Jika seluruh elemen sekolah berkolaborasi sebagaimana para konten kreator di luar sana untuk mulai mengisi konten dan fitur pada jaringan di sekolah, maka bisa jadi 3-4 tahun yang akan datang ketika pada generasi alpha di wilayah dengan akses internet minim mulai menginjak usia sekolah menengah atas, mereka bisa merasakan hadirnya miniatur google atau miniatur youtube di dalam jaringan lokal sekolah. Jika boleh mengutip komentator bola “jika tidak sekarang kapan lagi, jika tidak kita siapa lagi”. Mari mulai membangun mindset dan membuat konten pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik para generasi alpha.  Guru harus siap beradaptasi dengan jamannya, tidak boleh takut dengan perubahan bila ingin berkembang dan percaya diri untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan berkomunikasi dengan siswanya. Mindset siswa sudah berubah maka mindset gurupun tidak boleh gegabah dengan tidak meninggalkan ruh pembelajaran.

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel

Label